Rasionalisasi Anggaran Tunda Pembangunan, Kukar Siapkan Lanjutan 70 Posyandu di 2026

Gedung Posyandu di Kelurahan Loa Ipuh (Istimewa)
TENGGARONG — Kebutuhan posyandu di Kutai Kartanegara (Kukar) memasuki fase krusial. Di satu sisi, pemerintah pusat mewajibkan seluruh daerah menerapkan Posyandu berstandar enam layanan sesuai regulasi terbaru. Namun di sisi lain, Kukar masih menanggung pekerjaan rumah besar: puluhan posyandu belum terbangun akibat penundaan anggaran sejak 2023.
Di tengah kondisi itu, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kukar memastikan satu hal: pembangunan posyandu akan kembali dikebut mulai 2026, sepanjang kemampuan fiskal daerah memungkinkan.
Kepala DPMD Kukar, Arianto, mengungkapkan bahwa sebelum penundaan anggaran diberlakukan pada 2023—imbas menurunnya dana pusat dan rasionalisasi belanja—pemerintah sempat merealisasikan sekitar 60–70 unit posyandu yang tersebar di kecamatan dan desa.
“Sejak 2023 sampai 2025 pembangunan posyandu kita pending semua karena ada rasionalisasi anggaran. Namun sekitar 60 atau 70 unit sudah kita bangun,” ujarnya.
Namun angka tersebut masih jauh dari kebutuhan. Banyak desa dan kelurahan telah mengajukan proposal pembangunan dan menyediakan lahan, namun belum dapat ditindaklanjuti karena keterbatasan fiskal.
“Nanti kita tetap mengusulkan sisanya untuk dibangun. Di 2026, berapa pun yang bisa dibiayai pemerintah daerah, kita siap laksanakan,” katanya.
Namun ia menegaskan pembangunan tidak bisa dipaksakan jika kemampuan keuangan daerah tidak mencukupi.
“Kalau tidak ada kemampuan keuangan daerah yang bisa meng-cover usulan pembangunan posyandu, berarti kita tidak bisa bangun. Semua sektor membutuhkan anggaran—pertanian, kesehatan, pendidikan. Sementara dana bagi hasil dari pusat juga menurun,” tambahnya.
Mulai 2026, pemerintah pusat mewajibkan seluruh posyandu mengikuti standar layanan minimal (SPM) baru sesuai Permendagri.
Artinya, posyandu tidak lagi cukup menyediakan layanan dasar, tetapi harus memenuhi enam layanan terpadu, mencakup Kesehatan ibu hamil, Kesehatan balita, Gizi dan stunting, Penyakit menular, Penyakit tidak menular dan Layanan kesehatan lansia.
Bagi Kukar, yang masih mengejar pembangunan fisik posyandu, aturan baru ini menambah tantangan sekaligus peluang pembaruan. “Sekarang harus posyandu dengan 6 SPM. Tidak ada lagi posyandu model lama. Kita harus update dan menyesuaikan dengan aturan pusat,” tegas Arianto.
Tidak hanya bangunan fisik, fasilitas pendukung posyandu—mulai dari alat antropometri, meja layanan, hingga peralatan kesehatan ibu dan balita—akan diusulkan bersamaan dengan pembangunan.
Namun seperti pembangunan fisik, pemenuhan sarana ini juga bergantung pada kemampuan anggaran daerah. Arianto memastikan, meski pembangunan posyandu menunggu ruang fiskal, peningkatan layanan kesehatan masyarakat desa tetap menjadi prioritas.
“Posyandu adalah ujung tombak pelayanan ibu dan anak. Upaya peningkatannya tetap berjalan, sambil menyesuaikan kemampuan anggaran,” ujarnya. (Adv)





